Bayan adalah wilayah yang menjadi perbatasan antara Lombok Utara dengan Lombok Timur. Posisi Bayan yang jauh dari Tanjung, pusat pemerintahan Lombok Utara, membuatnya jauh dari hiruk pikuk. Ini merupakan faktor utama untuk mempertahankan adat dan budaya yang kental di Bayan. Meski kental dengan adat budaya yang diwariskan secara turun temurun, Masyarakat Bayan bukanlah masyarakat yang tertutup dari kehidupan modern.
Tapi kekuatan mereka dalam mempertahankan adat dan budaya tersebut justru menjadi daya tarik tersendiri untuk dicermati.
Salah satu warisan budaya dan objek wisata yang menjadi kebanggaan masyarakat Bayan adalah Masjid Kuno Bayan Beleq. Meski dinamakan masjid, namun fungsi dari masjid tersebut tidak seperti masjid pada umumnya. Masjid Kuno Bayan hanya dipakai pada hari-hari besar atau hari-hari keagamaan tertentu saja. Untuk kegiatan rutinitas, perayaan hanya dilakukan dalam selisih tiga hari. Misalnya, jika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, maka ritual di masjid ini akan dilaksanakan pada hari Seninnya.
Masjid ini diperkirakan dibangun sekitar 500 tahun yang lalu, tak seorang pun tahu siapa yang membangun masjid ini. Beberapa sumber menyebutkan, Masjid Kuno Bayan dibangun sekitar abad ke 16 M. Ceritanya, Sunan Giri dari Gresik menyebarkan agama Islam ke Pulau Lombok. Ketika sampai di Desa Bayan, Sunan diterima oleh Raja Bayan yang bergelar Datu Bayan, kemudian Sunan diberi sebidang tanah untuk mendirikan masjid. Tak ada kejelasan, apakah masjid ini dibangun langsung oleh Sunan Giri, atau oleh tokoh lain yang datang kemudian menggantikan posisinya.
Menurut sumber lain, yang menyebarkan Islam ke tanah Lombok adalah Sunan Prapen, bukan Sunan Giri. Sunan Prapen dikenal juga dengan nama Pangeran Senopati, dan merupakan cucu Sunan Giri. Jika data sejarah ini yang benar, maka Masjid Kuno Bayan jelas tidak mungkin dibangun oleh Sunan Giri. Memang ada perbedaan data sejarah, tapi semuanya sepakat bahwa masjid ini telah berusia sangat tua.
Ketika tiba di gerbang masjid, kami disambut penjaga masjid yang mengaku bernama Raden Kertamurti. Awalnya kami disambut dengan tatapan dingin. Tapi ketika obrolan mulai cair, beliau mengantarkan kami ke area masjid. Dari awal masuk kami sudah disuguhi dengan suasana alam yang masih alami dengan hamparan sawah berundak. Sambil melihat para petani yang sedang bekerja, Raden Kertamurti dengan ramahnya menceritakan tentang asal usul Masjid Kuno Bayan beserta ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat yang tinggal di seputaran masjid.
Meski dinamakan masjid, namun fungsinya tidak seperti masjid pada umumnya. Masjid ini hanya dipakai pada hari-hari besar atau hari-hari keagamaan tertentu saja. Tidak semua orang Islam di sana melakukan sembahyang, yang sembahyang di sana hanyalah para Kyai, mulai dari Kyai Pengulu, Kyai Ketip, Kyai Lebe, Kyai Modin, Kyai Raden dan Kyai Santri.
Masjid Kuno Bayan dikelilingi oleh makam para kyai yang membawa Islam pada zaman dahulu. Selain itu, juga terdapat beberapa cungkup makam. Tercatat beberapa nama di makam tersebut, antara lain: Pawelangan, Titi Mas Puluh, Sesait dan Karem Saleh. Mereka adalah tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam di Lombok. Makam tersebut dibuat seperti rumah dari bedek (dinding dari bambu).
Salah satu makam yang diperlakukan beda adalah makam Sesait. Konon, makam ini tidak pernah diperhatikan ahli keluarganya hingga timbul mitos yang terjadi yaitu bencana kematian akan datang bagi anak cucu keturunan Sesait. Namun, mitos ini sepertinya tidak terbukti, karena sampai sekarang keturunan Sesait masih bisa kita temukan di Desa Bayan.
Di sekitar Masjid juga bisa kita temukan Makam Reak, yakni makam Syekh Abdul Razak yang menyiarkan agama Islam secara luas sampai ke belahan negara yang lain pada abad ke 16/17 M. Namun, di setiap daerah dakwahnya Syekh Abdul Razak selalu berganti nama, oleh karena itu beliau tidak terlalu dikenal.
Di Desa Bayan dikenal adanya Aliran Wetu Telu (Waktu Tiga). Terjadi perbedaan tentang interpretasi Wetu Telu. Ada yang berpendapat bahwa Wetu Telu adalah tiga hari besar berkumpulnya umat Islam yaitu pada saat shalat Jumat, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ada juga yang berpendapat Wetu Telu adalah tiga waktu shalat yakni Maghrib, Isya dan Subuh. Perbedaaan tersebut tidak menjadi pertentangan di kalangan masyarakat Bayan. Wetu Telu muncul akibat penyebaran agama Islam yang tidak tuntas karena penyebar agama Islam saat itu berpindah ke Lombok Timur.
Masjid Kuno Bayan yang biasa disebut Masjid Induk ini direnovasi setiap delapan tahun sekali (tahun alif). Renovasi atas bantuan pemerintah pernah dilakukan dan menghabiskan dana kurang lebih 70 juta rupiah, namun ini dianggap belum mencukupi untuk biaya ritual yang terbilang cukup besar. Renovasi (sasak: Gugah) Masjid Kuno Bayan dilakukan secara bertahap dan tiap tahap memiliki ritual tertentu seperti potong kerbau yang dilakukan sebelum gugah. Bahan bangunan yang lama (bedek, kayu, atap dan sebagainya) tidak boleh dipakai untuk pembuatan bangunan baru maupun bangunan-bangunan yang lainnya di luar pembanguan Masjid Kuno Bayan. Oleh karena itu ketika kita berkunjung ke Masjid kuno Bayan, puing-puing sisa gugah atau renovasi masih bisa kita temukan di sekitar masjid. Renovasi bangunan Masjid tidak boleh berbeda dengan arsitektur sebelumnya. Meski sederhana, namun karena bahan-bahan yang diperlukan cukup langka dan sulit didapatkan menjadikan biaya renovasi menjadi semakin tinggi.
Imam Masjid Kuno Bayan adalah keturunan dari para penghulu atau kyai yang menyebarkan agama Islam terdahulu. Satu contoh warna putih yang digunakan melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot (ikat kepala) yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri. Tidak diperkenankan menggunakan celana dalam bentuk apapun. Untuk kaum perempuan cukup menggunakan kemben, yakni kain yang hanya sebatas dada. Hal tersebut dilakukan karena dikhawatirkan pakaian yang biasanya digunakan, telah terkotori oleh berbagai macam jenis kotoran (najis). Oleh karena itu dari segi pakaian akulturasi antara Islam dan Hindu jelas terlihat. Akulturasi juga dapat dibuktikan dari penemuan patung Budha di Bon Gontor sepanjang satu meter.
Di sekitar kompleks masjid ini terdapat beberapa Pondok Pesantren yang ada di Bayan, antara lain: Pondok Pesantren Babul Mujahidin di Bayan Belek, Ponpes Gaush Abdul Razaq di Senaru desa Tumpang Sari dan Ponpes Nurul Bayan di Sukadana. Pimpinan pondok pesantren Nurul Bayan Tuan Guru H. Abdul Karim sering membawa para tamunya untuk berkunjung ke Masjid Kuno Bayan guna berziarah.
Pintu gerbang menuju Masjid Kuno Bayan pada dasarnya adalah jalan umum yang berhubungan dengan kampung masyarakat yang masih berumah adat tradisional. Kampung tersebut terdiri dari 16 kepala keluarga. Karena jalan tersebut masih berstatus jalan umum, masyarakat bebas melewatinya meski dengan membawa hewan peliharaan mereka. Akibatnya jalan menjadi kotor. Hal ini sering dikeluhkan oleh para turis yang berkunjung ke sini. Hal ini pun sering menjadi sengketa antara masyarakat kampung dan pengurus Masjid Bayan Kuno. Hingga saat ini pengurus Masjid Bayan kuno masih menunggu tindak lanjut dari pihak terkait guna membuatkan jalan yang terpisah antara jalan Masjid Bayan Kuno dengan jalan yang menuju kampung masyarakat.
Masyarakat kampung Bayan memiliki tradisi khusus bagi pertaniannya. Untuk makan sehari-hari mereka mengkonsumsi Padi Bulu. Beberapa tokoh adat menyebutkan padi ini sebagai padi yang pertama kali ditanam di Bangket (sawah) Bayan. Selain itu ada sebagian yang berkeyakinan bila tidak menanam padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Dan masyarakat setempat juga lebih menyukai padi ini karena nasi yang dihasilkan rasanya lebih enak.
Padi Bulu hanya ditanam pada saat musim hujan dan dipanen setelah lima bulan. Sejak penanaman sampai pada tahap panen ada ritual yang mengiringi. Hasil panen disimpan di dalam lumbung. Padi Bulu tidak boleh dipakai pada acara ritual apapun selain untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat adat.
Pada saat ritual, masyarakat adat memiliki juru masak dan dapur khusus. Tradisi gotong royong dan rasa kekeluargaan masih erat mereka pegang. Hal ini terbukti pada saat kerja di sawah ataupun pada saat kegiatan-kegiatan ritualnya yang tidak membedakan pembagian peran laki-laki dan perempuan.
Waktu semakin senja dan tibalah kami untuk segera berpamitan pulang. Pada saat pulang sang penjaga masjid meminta kami untuk mengisi buku tamu. Di buku tersebut kami melihat nama-nama para wisatawan yang datang berkunjung beserta jumlah uang yang mereka berikan kepada penjaga Masjid kuno Bayan. Untuk wisatawan asing jumlah yang tertera minimal seratus ribu rupiah. Dan kami sebagai wisatawan lokal hanya bisa memberikan Rp 20.000,-
Menurut Raden Kertamurti, setiap bulannya masjid ini menerima tamu minimal 40 orang yang berasal dari berbagai negara. Wisatawan asing yang paling sering berkunjung berasal dari Jerman dan Belanda. Daftar jumlah tamu yang berkunjung dan perkembangan keadaan Masjid Kuno Bayan selalu dilaporkan ke kantor Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang berpusat di Bali.
Meskipun saya adalah warga asli Lombok Utara, namun kesempatan untuk berkunjung ke Masjid Kuno Bayan baru bisa terlaksana pada saat program akumassa ini dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat. Tentunya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bergabung di akumassa Pemenang.
Sumber :http://akumassa.org/program/pemenang-lombok-utara-ntb/masjid-kuno-bayan-beleq-dan-masyarakat-adat/comment-page-1/#comment-39581
0 komentar:
Post a Comment
Blog ini bersifat DoFollow. silahkan tinggalkan komentar yang sesuai dengan konten artikel. komentar yang tidak perlu akan kami hapus. Terima Kasih Atas Kunjungannya.